Selamat Datang di Website resmi Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Timur

Solusi Menanggulangi
Pengangguran dan Kemiskinan

Oleh Choirul Mahfud *)

Masalah pengangguran dan kemiskinan merupakan momok di banyak negara, termasuk negara maju seperti Amerika Serikat (AS). Apalagi Indonesia sebagai salah satu negara yang masih berkembang (developing countries), yang kebetulan nasibnya belum banyak berubah. Sehingga masih agak bingung tak tahu dari mana memulai pemecehannya, walau sudah pernah mencoba memecahkan problem klasik tersebut.

Memang, kuantitas dan kualitas masalah pengangguran dan kemiskinan dari tahun ke tahun semakin luar biasa. Salah satu penyebabnya bisa dilihat faktor pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang melimpah. Tidak mengagetkan bila terjadi “besar pasak daripada tiang.” Inilah pekerjaan rumah bangsa Indonesia tercinta yang perlu dipikirkan semua pihak. Tentu saja pemerintah tidak bisa mengatasi sendirian. Rakyat, pengusaha, praktisi media dan negara tentu perlu saling bekerja sama untuk mewujudkan negara sejahtera.

Dalam konteks ini, problem pengangguran dan kemiskinan bisa dilihat dari data laju pertumbuhan penduduk. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagaimana dikutip Ragiman (2010) mencatat jumlah penduduk Indonesia pada Juni 2010 sebesar 234,2 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 1,33 persen per tahun. Dari jumlah itu, jumlah angkatan kerja kini mencapai 116 juta orang. Sebanyak 107,41 juta orang adalah penduduk yang bekerja. Sedangkan jumlah penganggur sebanyak 8,59 juta orang atau penganggur terbuka sebesar 7,41 persen. Memang itu mengalami penurunan apabila dibanding 2009 yang sebesar 8,14 persen. Penduduk miskin tahun 2010 berjumlah 31,02 juta orang atau sebesar 13,33 persen, mengalami penurunan 1,51 juta jiwa dibandingkan dengan tahun 2009 (sebanyak 32,53 juta) atau 14,15 persen.

Di Jawa Timur, mengutip berita finance.detik.com, bahwa laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia paling banyak terdapat di Jawa Timur, yang jumlahnya 5,1 juta. Catatan sebagai kantong kawasan kaum miskin tentu saja membuat warga dan pemerintah di Jawa Timur, perlu terus bekerja, bekerja dan bekerja.

Memang, catatan jumlah penduduk di Jawa Timur ini relatif sudah menurun dibandingkan tahun lalu sebesar 5,4 juta. Namun tetap saja, pemerintah Jawa Timur harus mengakui masih ketinggalan dengan daerah lain, dan perlu terus berusaha agar lebih baik dari daerah lainnya.

Sebagaimana diketahui dari finance.detik.com, bahwa selain Jawa Timur, ada 6 provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah penduduk miskin di atas 1 juta jiwa, yaitu Jawa Tengah sebanyak 4,98 juta, turun dibanding tahun lalu 5,1 juta. Lalu Jawa Barat sebanyak 4,5 juta atau turun dari tahun lalu yang sebanyak 4,6 juta. Kemudian Sumatera Utara dengan penduduk miskin 1,4 juta atau turun 1,48 juta penduduk dari tahun sebelumnya. Lampung memiliki penduduk miskin sebanyak 1,25 juta atau turun dari 1,29 dari tahun lalu. Sumatera Selatan mempunyai penduduk miskin 1,06 juta atau turun dari tahun lalu sebanyak 1,07 penduduk, dan Nusa Tenggara Timur sebanyak 1,012 juta penduduk miskin atau turun tipis dari tahun lalu. Sementara di DKI Jakarta, jumlah penduduk miskin mencapai 363,2 ribu pada tahun ini. Jumlah tersebut turun sedikit dibandingkan penduduk miskin tahun lalu sebanyak 363,42 ribu penduduk.

Secara umum, banyak kalangan menginginkan percepatan dan keseriusan penanganan masalah pengangguran dan kemiskinan ini. Sebab, pada hakikatnya, hasilhasil pembangunan diperuntukkan bagi manusia itu sendiri, termasuk rakyat miskin dan para penganggur. Tidak ada seorang pun menginginkan menjadi miskin atau menganggur.

Di level pusat, pemerintah memang sudah merencanakan penanggulangan pengangguran dan kemiskinan yang bisa dipahami dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014. Di RPJM tersebut, tersurat pemerintah akan terus melanjutkan tiga strategi pembangunan ekonomi, yaitu pro growth, pro job dan pro poor. Termasuk di dalamnya mewujudkan pertumbuhan disertai pemerataan (growth with equity). Ketiga strategi itu diharapkan sebagai pendorong percepatan laju pertumbuhan ekonomi yang dapat memberikan lebih banyak kesempatan kerja. Dengan demikian, makin banyak keluarga Indonesia dapat menikmati hasil-hasil pembangunan dan dapat keluar dari jebakan kemiskinan dan pengangguran.

Namun, semua rencana tersebut perlu terus dikawal hingga terwujud kesuksesan dalam pelaksanaannya. Bagaimanapun, pembangunan ekonomi yang pro growth, pro job, dan pro poor perlu terus dilaksanakan. Ragiman (2010) memberikan salah satu solusi yang perlu ditempuh yaitu dengan memperluas cakupan program pembangunan berbasis masyarakat, serta meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, dan juga lembaga keuangan.

Tak hanya itu, berbagai langkah dan program nyata antara lain melalui pemberian subsidi, bantuan sosial, program keluarga harapan (PKH), PNPM Mandiri, dan dana penjaminan kredit/ pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dan koperasi melalui program kredit usaha rakyat (KUR), nampaknya masih perlu ditempuh. Program ini, apabila dilaksanakan dengan benar dan tepat sasaran, dapat membantu pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang tidak atau belum mampu dipenuhi dari kemampuan mereka sendiri.

 

Mimpi Hidup Sejahtera Tanpa Korupsi?

Akar masalah kemiskinan dan pengangguran di negeri ini salah satunya diyakini dari korupsi. Korupsi, kemiskinan dan pengangguran merupakan tiga patologi sosial yang saling berkaitan. Karena itu, bisa dikatakan, salah satu penyebab kemiskinan dan pengangguran di negeri ini adalah merajalela dan menggilanya praktik korupsi di semua sektor kehidupan. Tanya kenapa hal ini (masih) terjadi?

Kita semua tentu mafhum, potensi dan kekayaan negeri ini seharusnya tidak membuat rakyat menjadi miskin (mengalami kemiskinan). Kita tentu juga masih ingat salah satu syair lagu Koes Plus yang menyentil kekayaan negeri ini. Syair itu tidak lain berbunyi: “Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah syurga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”

Namun ironisnya, kekayaan alam yang seharusnya membuat kaya, justru faktanya sebaliknya. Masyarakat di negeri ini maih banyak yang miskin. Pengangguran, gelandangan, dan pengemis semakin hari kian banyak dan bertebaran di setiap sudut kota. Mereka semua hidup susah, tidak jelas berapa pendapatan sehari-harinya. Menjadi orang miskin seolah terbayang pernyataan: miskin dilarang sekolah apalagi kuliah, miskin dilarang sakit, dan hal semacamnya.

Secara angka, potret kemiskinan saat ini tergambar jelas. Berdasarkan Laporan Bulanan Data Sosiasl Ekonomi, yang dikeluarkan BPS, edisi September 2011, pada periode Maret 2010―Maret 2011, bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2011 sebesar 30,02 juta orang atau 12,49%.

Sementara berdasarkan data terakhir Asean Development Bank (ADB) yang dipublikasikan voaislam.com, bahwa orang miskin di Indonesia bertambah 2,7 juta orang. Angka pertambahan orang miskin di Indonesia melonjak tajam dalam tiga tahun terakhir ini. Juga, disinyalir, jumlah orang kaya di Indonesia banyak yang tidak terdeteksi karena banyak menempatkan dananya di luar negeri seperti Singapura.

Sebagai perbandingan, data ADB menunjukkan tahun 2008 jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 40,4 juta orang. Sementara tahun 2010 jumlah orang miskin meningkat menjadi 43,1 juta orang atau naik 2,7 juta orang. Sementara itu, praktik korupsi terus tumbuh subur di negeri ini. Badan Pemeriksa Keuangan bahkan melaporkan uang negara yang dikorupsi mencapai Rp. 103 triliun.

Informasi tingkat angka kemiskinan yang begitu besar tersebut mengakibatkan masalahmasalah dasar lain. Terutama, pendidikan dan kesehatan kurang menjadi prioritas pemikiran masyarakat. Bila dibiarkan, tentu dampaknya semakin parah bagi negeri ini.

Dalam konteks ini, jika asumsi bahwa kemiskinan diakibatkan oleh penyakit korupsi, bisa dibayangkan betapa Indonesia akan bebas dari penyakit kemiskinan ketika benar-benar korupsi bisa diberantas atau setidaknya ditekan hingga ke titik yang bisa ditoleransi.

Terkait dengan kemiskinan dan korupsi yang terus menggurita tersebut, mudah-mudahan tidak banyak orang yang mulai bosan dan lelah berbicara masalah tersebut serta upaya pemberantasannya. Sebab, kemiskinan dan korupsi di negeri ini seperti tidak pernah berkurang, baik dari sisi jumlah maupun kasus yang terjadi dari tahun ke tahun.

Sebagaimana diberitakan vivanews.com belum lama ini, bahwa dalam survei terbaru lembaga Transparency International (TI), Indonesia masih duduk di peringkat ke-100 dari 183 negara. Secara detail, dalam hasil Corruption Perceptions Index Tahun 2011, dari 183 negara yang disurvei, Indonesia menduduki peringkat 100 dengan skor 3 bersama dengan Argentina, Benin, Burkina Faso, Madagaskar, Djibouti, Malawi, Meksiko, Sao Tome and Principe, Suriname, Tanzania. Walau ada perbaikan dari peringkat terburuk sebelumnya (ke-110), dibanding saat ini (ke-100), bukan berarti itu angka yang membanggakan. Apalagi, masalah korupsi dan kemiskinan bukan melulu soal angka. Karenanya, peningkatan kesadaran rakyat di negara ini tentang perlunya menuntut akuntabilitas dari pemerintah, terutama dalam memerangi korupsi. Juga komitmen perbaikan ekonomi berbasis kesejahteraan dan keadilan sosial.

Angka indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tersebut jauh dibandingkan Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4). Sebagaimana diketahui bahwa berdasar perhitungan TI, negara dengan skor 0 dianggap sebagai yang terkorup, sedangkan angka 10 adalah yang paling bersih. Posisi Indonesia saat ini berada di peringkat 100 dengan skor 2,8. Sementara “juara pertama” yang terhitung sebagai negara yang sangat bersih dari korupsi adalah Selandia Baru dengan skor (9,5), disusul Denmark dan Finlandia (9,4), Swedia (9,3), dan Singapura (9,2).

Penganugerahan “juara pertama” untuk Selandia Baru merupakan pertanda contoh nyata yang kini diakui banyak pihak. Belum lama ini, sebuah penelitian sosial yang dilakukan oleh Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University, bertema ”How Islamic are Islamic Countries” juga telah menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140, hal ini mungkin karena juga fakta korupsi dan kemiskinan yang merajalela. Hasil survei dan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa korupsi dan kemiskinan seolah terus “dipelihara” dan dibiarkan. Apalagi, pasal dalam UUD 1945 secara “jujur” juga menyatakan bahwa orang miskin “dipelihara” negara. Inilah ironi yang perlu dibenahi dan diperbaiki bersama.

Melihat dampak korupsi yang melanggengkan kemiskinan tersebut, bagi saya, semua pihak perlu bersatu padu merebut peran dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah air. Dalam konteks semacam ini, mungkin tepat kita melakukan jihad melawan korupsi dan kemiskinan. Jihad yang selama ini hanya dipahami sebagai mati di medan perang kini bisa dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi demi kemajuan bangsa.

Bagaimana caranya? Pertama, upaya yang perlu ditempuh adalah melacak akar masalah korupsi dan kemudian merumuskan langkah strategis pemberantasannya.

Abdul Aziz mengutip Alatas (1987) melihat, ada dua penyebab utama menjamurnya praktik korupsi di Asia. Yakni, yang berlangsung terus-menerus dalam jangka panjang dan jangka pendek. Selain itu, bagi Alatas, lemahnya pemberantasan korupsi disebabkan kurang tegasnya pemimpin; minimnya pengajaran dan pendidikan antikorupsi, agama, serta etika; budaya kolonialisme; kemiskinan; tidak adanya hukum yang tegas; budaya; serta struktur pemerintahan yang mendukung perilaku korup.

Dalam konteks Indonesia, tesis yang dikemukakan sungguh tampak nyata sebagai realitas yang kasat mata. Ia membentang terang benderang di seluruh negeri ini mulai bawah hingga atas. Ia masuk dalam relung-relung birokrasi, pemerintahan, parlemen, parEdisi November 2012 pol, lembaga pendidikan, organisasi militer, hingga “departemen agama”. Karena itu, ia menjadi masalah besar yang sangat gawat dan memberi andil besar bagi kerusakan serta kehancuran bangsa ini (Syafi’i Ma’arif, 2001).

Lalu, bagaimana strategi pemberantasannya? Menurut saya, karena latar masalah terjadinya korupsi ibarat lingkaran setan, sudah tentu cara mengatasinya harus memutus lingkaran setan korupsi itu. Jihad melawan korupsi dengan cara memutus lingkaran setan tersebut tentu harus dilakukan bersama-sama.

Pertama, pemerintah beserta aparatnya wajib mengusut tuntas dengan tidak tebang pilih terhadap pelaku korupsi di negeri ini. Apalagi, sebagai anggota PBB, Indonesia ikut serta menandatangani deklarasi Millennium Development Goals (MDGs) yang salah satunya berkomitmen terhadap penghapusan kemiskinan.

Lebih dari itu, sudah sepatutnya perilaku menyimpang yang sering dilakukan elite politik perlu diganti dengan keteladanan moral yang baik.

Kedua, semua pihak di berbagai instansi dan institusi publik, agama, pendidikan, politik, media massa (pers), LSM, serta publik diharapkan berperan serta dan bertanggung jawab dalam penciptaan clean and good government.

Ala kulli hal, di tengah-tengah jeritan hidup akibat kemiskinan dan korupsi, masih adakah harapan bagi rakyat di negeri ini untuk bisa hidup sejahtera tanpa korupsi? ***

*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya.

 
Copyright © 2009 - 2024 DPMD Provinsi Jawa Timur All Rights Reserved.