Selamat Datang di Website resmi Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Timur

OPINI

Pengembangan Kapasitas,
Pengembangan Masyarakat

Oleh: Zaki Mubarak

Pengembangan masyarakat sejatinya merupakan proses, dan aspek terpenting dari integrasi proses tersebut adalah melibatkan masyarakat itu sendiri. Proses pengembangan masyarakat harus menjadi sebuah proses yang dimiliki, dikuasai dan dilangsungkan oleh mereka sendiri karena masyarakat sendirilah yang mengerti akan kebutuhan, potensi, dan sumber daya yang mereka miliki.

 

Inti dari pengembangan masyarakat adalah proses peningkatan kesadaran masyarakat itu sendiri. Salah satu aspek dari peningkatan kesadaran adalah terbukanya peluang-peluang untuk tindakan menuju perubahan. Peningkatan kesadaran itu dapat dicapai melalui beberapa strategi, diantaranya melalui kebijakan dan perencanaan, aksi sosial dan politik, dan melalui pendidikan dan penyadaran.

 

Pemberdayaan melalui pendidikan dan penyadaran menekankan pentingnya suatu proses edukatif atau pembelajaran (dalam pengertian luas) dalam melengkapi masyarakat untuk meningkatkan keberdayaan mereka, sehingga masyarakat memiliki gagasan-gagasan, pemahaman, kosakata, dan keterampilan bekerja menuju perubahan yang efektif dan berkelanjutan. (Ife dan Tesoriero,2008: 148 dan 350).

Dalam pengembangan kapasitas di suatu komunitas masyarakat, harus disadari bahwa setiap masyarakat berbeda-beda. Mereka memiliki karakteristik budaya, geografi , sosial, politik, dan demografi yang unik, sehingga pengalaman pengembangan kapasitas di suatu komunitas masyarakat belum tentu dapat berjalan di masyarakat yang lain bahkan sangat beresiko mengalami kegagalan dan melemahkan pengalaman orang-orang dari masyarakat tersebut karena hal itu
bukan proses yang cocok untuk mereka (Ife dan Tesoriero, 2008: 342).

Tujuan pengembangan masyarakat adalah membangun kembali masyarakat sebagai tempat pengalaman penting manusia, untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan membangun kembali struktur-struktur negara dalam hal kesejahteraan, ekonomi global, birokrasi, elite profesional, dan sebagainya yang selama ini kurang berperikemanusiaan dan sulit diakses. Tujuan dari sebuah usaha pengembangan masyarakat dikatakan berhasil apabila proses yang dilaksanakan menuju ke arah pencapaian tujuan.

Berdasarkan kajian mengenai ruang lingkup pemberdayaan masyarakat, diketahui bahwa pemberdayaan masyarakat harus dilaksanakan baik pada tataran sistem, kelembagaan dan individu. Sejalan dengan hal tersebut, pengembangan kapasitas dalam upaya untuk mengembangkan masyarakat juga harus dilakukan pada tataran yang sama, yaitu pada tataran sistem, kelembagaan dan individu.

Peningkatan kapasitas dalam tataran sistem meliputi usaha yang bersifat luas dan banyak menekankan keterlibatan pemerintah dan pemegang kekuasaan lainnya terutama dalam mengembangkan sebuah sistem pembangunan yang berpihak kepada masyarakat. Dalam lingkup komunitas, proses peningkatan kapasitas adalah pada tataran kelembagaan komunitas dan pada tataran individu masyarakat.

Peningkatan kapasitas kelembagaan berarti usaha untuk meningkatkan peran dan mengembangkan tata kelembagaan di tingkat masyarakat yang mampu
mewadahi setiap gagasan, usulan dan aspirasi dari masyarakat untuk kemajuan dalam komunitasnya. Peningkatan kapasitas kelembagaan ini meliputi usaha
penyadaran masyarakat untuk menyusun norma-norma dan aturan-aturan yang menyangkut pola perilaku masyarakat yang mana keluaran dari usaha ini adalah terbentuknya lembaga-lembaga berbasis komunitas untuk pembangunan dalam lingkungannya.

Peningkatan kapasitas juga meliputi usaha untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan berorganisasi masyarakat dalam upaya mewujudkan tata kelembagaan yang lebih partisipatif dan transparan.

Peningkatan kapasitas individu lebih condong pada usaha untuk meningkatkan kemampuan individu-individu masyarakat agar mereka mampu memanfaatkan semua potensi dan kemampuan yang ada pada dirinya untuk dapat dimanfaatkan demi kemajuan masyarakat sekitarnya. Upaya peningkatan kapasitas individu ini meliputi usaha-usaha pembelajaran baik dari ranah pengetahuan, sikap atau penyadaran kritis dan keterampilannya.

Pemahaman mengenai pengembangan masyarakat sebagai sebuah proses juga harus diikuti dengan usaha peningkatan kapasitas yang terus menerus. Keluaran dari proses pengembangan masyarakat bukanlah suatu kondisi yang berhenti pada sebuah titik tertentu saat tujuan pengembangan itu dinyatakan tercapai, namun keluarannya harus berupa siklus yang terus menerus dan berkelanjutan, karena kondisi dan dinamika masyarakat terus berkembang dan
ketika usaha peningkatan kapasitas telah mencapai suatu tingkatan tertentu, maka akan muncul tantangan-tantangan baru yang lebih kompleks dan lebih berat.

Dalam siklus pengembangan masyarakat, proses peningkatan kapasitas dilakukan secara berulang-ulang sehingga kesadaran terhadap pembangunan akan
menjadi budaya dan bagian dari masing-masing individu dalam masyarakat.

Elemen-elemen dalam pengembangan kapasitas merupakan hal-hal yang harus dilaksanakan dalam mencapai kondisi kapasitas masyarakat yang berkembang. Garlick dalam McGinty (2003) menyebutkan lima elemen utama dalam pengembangan kapasitas sebagai berikut:

1. Membangun pengetahuan, meliputi peningkatan keterampilan, mewadahi penelitian dan pengembangan, dan bantuan belajar;
2. Kepemimpinan;
3. Membangun jaringan, meliputi usaha untuk membentuk kerjasama dan aliansi;
4. Menghargai komunitas dan mengajak komunitas untuk bersama-sama mencapai tujuan;
5. Dukungan informasi, meliputi kapasitas untuk mengumpulkan, mengakses dan mengelola informasi yang bermanfaat.

Bartle (2007) menjabarkan elemen-elemen dalam pengembangan kapasitas masyarakat secara lebih detil menjadi enam belas aspek, yaitu:
1. Altruism, yaitu mengutamakan kepentingan umum.
2. Common values atau kesamaan nilai dalam bermasyarakat, yaitu masyarakat memiliki kesamaan peran dalam mengusulkan ide.
3. Communal service atau layanan masyarakat.
4. Communication atau komunikasi.
5. Confi dence atau percaya diri.
6. Context atau Keterkaitan (politik dan administratif).
7. Information atau Informasi.
8. Intervention atau rintangan.
9. Leadership atau kepemimpinan.
10. Networking atau jaringan kerja.
11. Organization atau organisasi.
12. Political power atau kekuatan politik.
13. Skills atau keterampilan dan keahlian.
14. Trust atau Kepercayaan.
15. Unity atau Keselarasan.
16. Wealth atau kekayaan.

Evaluasi Pemberdayaan. UNDP (2002) mendefi nisikan evaluasi sebagai kegiatan selektif yang mencoba mengkaji perkembangan dan pencapaian suatu hasil secara sistematis dan objektif. Dalam sebuah program, evaluasi tidak hanya dilakukan satu kali namun penilaian dilakukan berulang dan dilaksanakan berdasarkan lingkup dan kedalaman yang berbeda pada beberapa tahapan waktu untuk menilai pencapaian pengetahuan dan pembelajaran dalam upaya pencapaian hasil (outcome).

Fetterman (2007) juga menjelaskan bahwa evaluasi pemberdayaan adalah merupakan proses untuk mendapatkan gambaran diri melalui evaluasi dan refleksi diri dalam tataran individu ataupun grup guna meningkatkan kualitas dirinya melalui inisiatifnya sendiri.

Terdapat beberapa pendekatan-pendekatan dan model-model evalu asi pemberdayaan. Guijt (2000) dan Rietbergen-McCracken (1998) menjelaskan bahwa evaluasi pemberdayaan harus dilakukan sendiri oleh masyarakat melalui rangkaian kegiatan partisipatif (participatory monitoring & evaluation/PM&E).

Prinsip dalam PM&E adalah bahwa masyarakat lokal berperan sebagai partisipan aktif, semua stakeholder ikut mengevaluasi sedangkan pihak luar hanya memfasilitasi, fokus pada pengembangan kapasitas stakeholder dan proses yang ada ditujukan untuk membangun komitmen guna kemajuan dan tindakan korektif.

Evaluasi partisipatif berbeda dengan pendekatan evaluasi konvensional (Riebergen-McCracken,1998), dimana pendekatan evaluasi tradisional cenderung bersifat
linear dan lebih berfungsi untuk menilai akuntabilitas manajemen dan keuangan sedangkan evaluasi partisipatif lebih bersifat openended dan iterative (berulang) dan lebih berfungsi untuk menjawab kebutuhan terhadap perubahan dalam kegiatan.

Kritik Cousins (2005) terhadap teori evaluasi pemberdayaan Fetterman menyatakan bahwa tindakan evaluasi bisa dilihat dari dua sisi, yaitu evaluasi yang dilakukan oleh praktisi evaluasi atau bersifat praktis dan evaluasi yang dilakukan oleh peneliti/teorist. Oleh karena itu, sebuah penelitian berusaha untuk menggunakan pendekatan-pendekatan dan prinsip-prinsip evaluasi partisipatif namun dilakukan oleh peneliti di luar komunitas itu sendiri.

Prinsip Evaluasi Pemberdayaan dan Pengembangan Kapasitas. Konsep evaluasi pemberdayaan yang dikemukakan Fetterman dan Wandersman (2007) lebih mengarah pada evaluasi faktor-faktor eksplisit daripada yang bersifat implisit. Fetterman menyampaikan 10 prinsip-prinsip dalam evaluasi pemberdayaan adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan, Community ownership (kepemilikan komunitas)
2. Inclusion (inklusi)
3. Democratic participation (partisipasi demokrasi)
4. Social justice (keadian sosial)
5. Community knowledge (tingkat pengetahuan komunitas)
6. Evidence-based strategies (strategi berbasis alasan)
7. Capacity building (pengembangan kapasitas)
8. Organizational learning (Pembelajaran organisasi)
9. Accountability (akuntabilitas)

Prinsip-prinsip evaluasi tersebut di atas merupakan panduan untuk melakukan evaluasi per-bagian dari proses pemberdayaan, baik secara konseptual maupun dalam implementasinya. Dari pemaparan di atas terlihat bahwa evaluasi kinerja pengembangan kapasitas merupakan salah satu aspek dalam kerangka evaluasi pemberdayaan masyarakat secara luas.

Untuk meneliti atau mengevaluasi kinerja pengembangan kapasitas dalam proses pemberdayaan masyarakat, UNDP (2008) memaparkan kerangka kerja/framework yang merupakan dimensi penilaian yang terdiri dari masukan (points of entry), isu utama (core issues), dan kapasitas fungsional/teknis (technical/functional capacities).

Masukan (points of entry) dalam pengembangan kapasitas menurut UNDP (2008) dibedakan berdasarkan tingkatannya yaitu pengembang an kapasitas dalam level sistem, kelembagaan dan individu. Dimensi kedua yaitu isu utama (core issues) yang merupakan domain/ranah dalam pengembangan kapasitas yang terdiri dari penataan kelembagaan, kepemimpinan (leadership), pengetahuan (knowledge), dan akuntabilitas (accountability).

Empat ranah dalam pengembangan kapasitas tersebut merupakan acuan tetapi bisa dikembangkan lebih lanjut dan disesuaikan berdasarkan kebutuhan dan situasi yang dihadapi. Dimensi ketiga dalam framework pengembangan kapasitas yang yaitu kapasitas fungsional/teknis. Pengembangan kapasitas masyarakat dalam proses pemberdayaan dibedakan menjadi dua yaitu kapasitas fungsional yang merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas manajerial yang dibutuhkan untuk menyusun, mengimplementasikan dan mereview kebijakan, strategi, program dan kegiatan, dan kapasitas teknis yang merupakan upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan teknis praktis, seperti perubahan iklim, kesehatan, pemilihan langsung, dsb.

Kerangka kerja/framework dalam evaluasi pengembangan kapasitas tersebut, dapat kita gunakan sebagai acuan dalam mengevaluasi capaian kegiatan pengembangan kapasitas masyarakat dengan melihatnya dari sisi outcome atau hasil yaitu perubahan sikap dan cara pandang masyarakat mengenai suatu hal dalam komunitasnya dari kondisi sebelum mendapatkan program pengembangan kapasitas dan kondisi setelah mendapatkan program tersebut. ***

=&= Penulis adalah Peneliti masalah pemberdayaan masyarakat, alumni Program Pascasarjana Magister Pembangunan Undip. =&=

 
Copyright © 2009 - 2024 DPMD Provinsi Jawa Timur All Rights Reserved.